Selasa, 13 Juni 2017

qiraat al-quran menurut ignaz goldziher



Qira’at al-Qur'an Menurut Ignaz Goldziher

            Ignaz Goldziher lahir pada tahun 1850 di kota Skezfeherfar, Hungaria, dan wafat pada tahun 1921. Ia berasal dari keluarga Yahudi. Di masa mudanya, ia sudah mempelajari bahasa Ibrani, Turki dan Persia. Pendidikannya dimulai di Budhapest, kemudian ia melanjutkan ke Berlin, dan Leipzig , tempat dimana ia menyelesaikan program doktoralnya.[1]
            Goldziher merupakan salah satu pengkaji Islam awal yang menjadi rujukan oleh para Sarjana Barat setelahnya. Ia disebut sebagai peletak dasar orientalisme Eropa awal. Ia merupakan  seorang sarjana yang menguasai dan memahami sejarah Islam, hadis, bahasa Arab, tafsir, ilmu kalam dan fiqh.[2] Bahkan dalam beberapa literatur disebutkan bahwa ia pernah hidup dan merasakan bagaimana hidup di dunia Timur, seperti Mesir, Palestina dan Suriah.
            Ignaz memiliki banyak karya yang membahas tentang Islam. Salah satu karyanya yang terkenal adalah Madzhahib al-Tafsir al-Islamiy yang sudah diterjemahkan dengan judul Mazhab Tafsir : dari Klasik hingga Modern. Dalam karyanya ini, Ignaz menyampaikan pemikiran-pemikiran kritisnya terkait dengan al-Qur'an. Salah satu bahasan yang menarik untuk dikaji adalah perbedaan qira’at al-Qur'an.
            Ignaz mengatakan bahwa perbedaan qira’at menunjukkan ketidak-konsistenan al-Qur'an. Ia juga menjelaskan perdebatan yang terjadi di kalangan para sahabat, khususnya antara Abdullah bin Mas’ud dan Utsman bin Affan. Perbedaan pandangan kedua sahabat ini terjadi setelah Utsman –yang menjabat sebagai khalifah— membuat keputusan untuk memusnahkan mushaf selain dari satu mushaf yang diakui oleh ‘Utsman, dan menjadikan mushaf tersebut sebagai mushaf resmi.[3] Bahkan di awal pemaparannya dalam kitab Madzahib al-Tafsir al-Islamiy, Ignaz sudah mengatakan bahwa setelah diwahyukan, proses penyebaran al-Qur'an sangat kacau dan tidak pasti.[4] Ignaz memberikan beberapa contoh yang menunjukkan perbedan bacaan al-Qur'an. Pertama, perbedan  dalam surat al-A’raf : 48,
وَنَادَىٰٓ أَصۡحَٰبُ ٱلۡأَعۡرَافِ رِجَالٗا يَعۡرِفُونَهُم بِسِيمَىٰهُمۡ قَالُواْ مَآ أَغۡنَىٰ عَنكُمۡ جَمۡعُكُمۡ وَمَا كُنتُمۡ تَسۡتَكۡبِرُونَ ٤٨
            Sebagian ulama qira’at membaca lafaz تستكبرون dengan bacaan تستكثرون. Kedua,perbedaan cara baca yang terjadi dalam surat yang sama ayat 57,
وَهُوَ ٱلَّذِي يُرۡسِلُ ٱلرِّيَٰحَ بُشۡرَۢا
Huruf ب pada kata بشرا diganti dengan huruf ن, sehingga menjadi نشرا.[5] Tidak hanya perbedaan dari segi huruf saja, Ignaz juga memberikan contoh-contoh perbedaan dari segi harakat, dan kalimatnya. Banyaknya perbedaan cara baca dan perselisihan yang terjadi di kalangan para sahabat dan ulama qira’at inilah yang menjadi penyebab kenapa Ignaz mengatakan bahwa al-Qur'an merupakan kitab suci yang tidak konsisten dan banyak polemik yang melingkupinya.
            Pemikiran-pemikiran yang disampaikan oleh Ignaz mendapat berbagai macam respon dari para sarjana, baik sarjana Barat maupun sarjana Timur. Bantahan dari insider juga banyak bermunculan. Beberapa sarjana Muslim membantah pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa kritikan tentang qira’at al-Qur'an yang dilontarkan Ignaz hanya berdasarkan sumber tertulis saja, padahal penyebaran dan pengajaran al-Qur'an dilakukan dengan tradisi oral yang berkembang saat itu. Kemudian, beberapa contoh perselisihan qira’at yang dicantumkan oleh Ignaz merupakan qira’at yang munkar dan tidak diakui oleh para sahabat dan ulama.  
            Pemikiran Ignaz ini merupakan salah satu contoh hasil kajian para outsider tentang Islam dan al-Qur'an. Tulisan ini belum bisa mendeskripsikan secara keseluruhan bagaimana kajian-kajian yang dilakukan oleh para oursider terkait keilmuan Islam. Karena kajian Barat terhadap Islam memiliki sejarah yang sangat panjang, mulai dari kajian yang bernuansa polemis, kemudian adanya keseimbangan antara Timur dan Barat walaupun masih terdapat arogansi dari masing-masing pihak, sampai kepada terjalinnya kerjasama antara insider dengan outsider dalam mengkaji Islam sehingga terjadi perkembangan pemikiran dan kajian yang sudah interdisipliner.


[1] Almakin, Antara Barat dan Timur : Hegemoni, Relasi, Dominasi dan Globalisasi, (Yogyakarta : Suka-Press, 2017), hlm. 76.
[2] Almakin, Antara Barat dan Timur..., hlm. 77.
[3] Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir : dari Klasik hingga Modern, terj. M. Alaika Salamullah, dkk., (Yogyakarta : eLSAQ Press, 2010), hlm. 16-20.
[4] Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir..., hlm. 4.
[5] Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir..., hlm. 9.

Rabu, 21 Desember 2016

persoalan pendidikan menurut Fazlur Rahman



Persoalan Pendidikan Umat Islam Menurut Fazlur Rahman
Khairul Fikri
            Pengembangan ilmu pengetahuan merupakan hal yang harus senantiasa dilakukan oleh umat manusia. Terdapat hubungan yang signifikan antara kemajuan ilmu pengetahuan dengan kemajuan peradaban manusia. Jika pengetahuan tidak berkembang maka akan berefek kepada kemunduran suatu peradaban.
            Islam merupakan agama yang menekankan betapa pentingnya pengetahuan. Al-Qur’an dan Sunnah banyak menjelaskan urgensi pengetahuan dan tingginya derajat manusia yang berilmu di sisi Allah SWT. Rasulullah SAW mengatakan bahwa “menuntut ilmu itu wajib bagi setiap kamu muslimin”. Ini menunjukkan bahwa Islam sangat mencela kebodohan karena akan berujung kepada kehancuran.
            Kenyataan bahwa Islam menempatkan ilmu pengetahuan dalam posisi yang tinggi, tampak berbeda dengan fakta empiris yang dirasakan oleh Fazlur Rahman, seorang tokoh pemikiran Islam berkebangsaan Pakistan. Ia melihat bahwa pendidikan Islam di abad pertengahan, khusunya di Pakistan, menghadapi berbagai problem. Sutrisno dalam disertasinya menambahkan bahwa menurut Rahman, diantara problem-problem pendidikan yang dihadapi umat Islam meliputi problem ideologis, dualisme dalam sistem pendidikan, bahasa dan problem metode pembelajaran.[1]
            Persoalan ideologi umat Islam menyebabkan semangat umat Islam dalam menuntut ilmu menjadi berkurang, mereka hanya terfokus kepada hal-hal yang dapat membela ideologi yang mereka yakini dan hal-hal yang bisa mengalahkan ideologi yang bertentangan dengan mereka, sehingga pengetahuan hanya dijadikan alat legitimasi semata. Persoalan ideologi juga berdampak kepada munculnya “dikotomi dan dualisme dalam sistem pendidikan”[2]. Dualisme ini berdampak kepada rendahnya kualitas para penuntut ilmu, sehingga membuat mereka tidak siap menghadapi tantangan zaman, khususnya zaman modern ini.
            Persoalan yang tidak kalah pentingnya adalah persoalan bahasa.[3] Bahasa yang merupakan jendela dunia, berperan penting dalam membantu para penuntut ilmu untuk menemukan ilmu yang lebih banyak lagi dan mengembangkan keilmuan yang mereka milliki. Kesadaran akan pentingnya bahasa yang masih minim di kalangan umat Islam menjadi salah satu penyebab lambatnya perkembangan keilmuan pada diri umat Islam.
            Keperihatinan Rahman terhadap pendidikan Islam tidak berhenti sampai di situ saja, Rahman juga menilai bahwa metode pembelajaran yang digunakan selama ini juga harus diperbaiki secara mendasar. Keperihatinan itulah yang menjadi latar belakang Rahman untuk berusaha memberikan solusi alternatif dalam memecahkan persoalan umat Islam.
            Pemikiran pendidikan Rahman berorientasi pada al-Qur’an. Etika al-Qur’an yang mencakup iman, islam dan taqwa merupakan pangkal pendidikan Islam yang harus dimiliki para penuntut ilmu. Karena dengan didasari oleh etika al-Qur’an ini, maka seluruh kemampuan atau potensi yang dimiliki penuntut ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu umum, akan diarahkan untuk kemaslahatan kehidupan seluruh umat manusia.[4]
            Menurut saya, etika al-Qur’an inilah yang kurang dimiliki oleh kebanyakan penuntut ilmu di dunia, termasuk di Indonesia. Orientasi para penuntut ilmu saat ini, hanya sampai pada taraf profesi apa yang akan mereka peroleh setelah menamatkan studinya, kesuksesan menurut mereka dinilai dari tinggi rendahnya jabatan dan besar kecilnya gaji yang didapatkan. Masih sedikit ditemukan, penuntut ilmu yang mempunyai semangat untuk memberikan kemaslahatan kepada orang-orang disekitarnya.
            Kembali ke Fazlur Rahman. Dalam penafsiran al-Qur’an, Rahman menawarkan metode double movement (gerakan ganda). Metode double movement  ini juga dapat diterapkan dalam sistem pendidikan Islam.  Gerakan ganda yang dimaksud adalah gerakan dari guru ke murid dan dari murid ke guru.[5] Dalam proses pembelajaran tidak hanya mendengarkan pemaparan dari guru, tetapi murid juga dapat membaca, memahami, menganalisis, menulis, mengadakan eksperimen, dan proses-proses lainnya.
            Saya sangat mengapresiasi keperihatinan Rahman terhadap masalah pendidikan di kalangan umat Islam serta tawaran metode yang diberikannya, khususnya yang menurut penulis paling penting dalam metode yang ditawarkan itu adalah mendasari para penuntut ilmu dengan etika al-Qur’an.



[1] Sutrisno, Fazlur Rahman : Kajian terhadap Metode Epistemologi dan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 172.
[2] Sutrisno, Fazlur Rahman :Kajian..., hlm. 173.
[3] Sutrisno, Fazlur Rahman :Kajian..., hlm. 174.
[4] Sutrisno, Fazlur Rahman :Kajian..., hlm. 181.
[5] Sutrisno, Fazlur Rahman :Kajian..., hlm. 187.

Jumat, 29 Mei 2015

Faktor Penghambat Terwujudnya Masyarakat Madani di Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Masyarakat Madani jika dipahami sekilas merupakan format kehidupan alternatif yang mengedepankan semangat demokrasi dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Ketika negara sebagai penguasa dan pemerintah tidak bisa menegakkan demokrasi dan hak asasi manusia dalam menjalankan roda pemerintahannya, di sinilah kemudian konsep masyarakat madani menjadi alternatif pemecahan.
Sosok Masyarakat Madani bagaikan barang antik yang memiliki daya tarik yang amat mempesona. Kehadirannya yang mampu menyemarakkan wacana politik kontemporer dan meniupkan arah baru pemikiran politik, bukan dikarenakan kondisinya yang sama sekali baru, melainkan disebabkan tersedianya momentum kondusif bagi pengembangan masyarakat yang lebih baik.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian masyarakat madani  ?
2.      Bagaimana sejarah pemikiran masyarakat madani ?
3.      Apa karakteristik masyarakat madani ?
4.      Apa faktor penghambat terwujudnya masyarakat madani di Indonesia ?
5.      Bagaimana proses perubahan menuju masyarakat madani di Indonesia ?

C.     Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui pengertian masyarakat madani 
2.      Mengetahui sejarah pemikiran masyarakat madani
3.      Mengetahui karakteristik masyarakat madani
4.      Mengetahui faktor penghambat terwujudnya masyarakat madani di Indonesia
5.      Mengetahui  proses perubahan menuju masyarakat madani di Indonesia


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Masyarakat Madani (civil society)
Dalam pertumbuhannya, konsep civil society ini muncul dalam bentuk dan gagasan yang berbeda-beda. Akar perkembangannya bisa dirunut dari Cicero atau lebih ke belakang sampai ke Aristoteles. Namun, Cicero-lah yang memulai menggunakan istilah societes civilis dalam tradisi Eropa dianggap sama dengan pengertian state (negara). Pada abad ke 18, istilah civil society mengalami pergeseran makna. State dan civil society   dipahami sebagai wujud yang berbeda.   
Istilah masyarakat madani dimunculkan oleh Anwar Ibrahim, mantan wakil perdana menteri Malaisya, dalam ceramahnya pada simposium Nasional dalam rangka forum Ilmiah Festival Istiqlal, tanggal 26 September 1996 di Jakarta. Menurutnya, masyarakat madani adalah sistem sosial yang berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat madani mempunyai ciri-ciri yang khas : kemajemukan budaya, hubungan timbal balik, dan sikap saling memahami dan menghargai.
Dawam Rahardjo mendefinisikan masyarakat madani sebagai proses penciptaan peradaban yang mengacu kepada nilai-nilai kebijakan bersama. Menurutnya, dasar utama dari masyarakat madani adalah persatuan dan integrasi sosial  yang didasarkan pada suatu pedoman hidup, menghindarkan diri dari konflik dan permusuhan yang menyebabkan perpecahan dan hidup dalam suatu persaudaraan[1].
Secara sederhana, dapat ditemukan adanya 2 pemikiran besar dalam perdebatan wacana civil society di Indonesia. Pertama, “masyarakat sipil” yang disinteskan dari pemikiran filsafat Barat. Masyarakat sipil ini merupakan ruang yang bebas dari intervensi atau campur tangan negara. Kedua, “masyarakat madani” yang disinteskan dari pemikiran politik Islam. Pemikiran masyarakat madani di sini didasarkan pada pengalaman Nabi pada masa Madinah, seperti dikemukakan oleh Nurkholis Madjid. Masyarakat yang berbudi luhur atau berakhlak mulia itulah masyarakat berperadaban/masyarakat madani/ civil society.
B.     Sejarah Pemikiran Masyarakat Madani
Istilah civil society  sebenarnya telah beredar dalam pembicaraan tentang filsafat sosial pada abad ke 18 di Eropa Barat dan masih berlanjut hingga akhir abad 19. Dalam waktu yang cukup lama istilah itu seolah-olah hilang dari peradaban, hingga pada tahun 1990-an, muncul kembali dan diperdebatkan lagi di Eropa Barat.
Berbagai pemikiran yang dilontarkan akhir-akhir ini di seputar civil society yang di Indonesia telah diterjemahkan menjadi “masyarakat sipil”, “masyarakat kewargaan”, atau “masyarakat madani” itu sebenarnya merupakan imbas dari perkembangan pemikiran yang terjadi di dunia Barat tersebut dan Amerika Serikat.[2]   
C.     Karakteristik Masyarakat Madani
Beberapa unsur pokok yang harus dimiliki oleh masyarakat madani yang merupakan satu kesatuan yang saling mengikat dan menjadi karakter khas masyarakat madani adalah sebagai berikut :
1.      Wilayah atau Ruang Publik yang Bebas
Ruang publik yang bebas sebagai sarana untuk mengemukakan pendapat warga masyarakat. Di ruang publik ini semua warga negara memiliki posisi dan hak yang sama untuk melakukan transaksi sosial dan politik tanpa rasa takut dan terancam oleh kekuatan-kekuatan di luar civil society. Warga negara berhak melakukan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta menerbitkan dan mempublikasikan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Sebagai sebuah pra syarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan civil society  dalam sebuah tatanan masyarakat, maka ruang publik yang bebas menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan. Karena dengan mengesampingkan ruang publik yang bebas dalam tatanan civil society, akan memungkinkan terjadinya pembungkaman kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum oleh penguasa yang otoriter. 
2.      Demokrasi
Demokrasi merupakan suatu wujud yang menjadi penegak masyarakat madani , dimana dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan aktivitas kesehariannya. Demokrasi berarti masyarakat dapat berlaku santun dalam pola hubungan interaksi dengan masyarakat sekitarnya dengan tanpa mempertimbangkan suku, ras, agama dan adat istiadat. Penekanan demokrasi di sini mencakup aspek kehidupan seperti politik, sosial, budaya, pendidikan, dan ekonomi.
Gerakan transformasi dengan implikasi  demokrasi menuju perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya pernah terjadi dalam sejarah Islam, yakni misi yang disampaikan oleh Muhammad S.A.W. Menurut Asghar, sisi revolusioner Islam tidaklah terbatas pada sistem teologisnya yang mengajarkan tauhid, melainkan lebih menitikberatkan pada sisi demokrasi, keadilan dan egaliter (persamaan hak dan kewajiban bagi seluruh warga negara) yang menantang status quo (keadaan tidak berubah/tetap dalam waktu tertentu) dan penindasan terhadap rakyat kecil.  Perlu dicatat bahwa masyarakat Madinah adalah pluralistik. Di sana terdapat campuran ras Yahudi, suku Aus dan Khazraj, dan kaum muhajirin. Dalam heterogenitas masyarakat Madinah ini, Nabi membentuk suatu komunitas masyarakat politik berdasarkan konsensus yang dikenal dengan istilah piagam madinah. 
Tanpa demokrasi masyarakat madani tidak mungkin terwujud. Secara umum demokrasi adalah suatu tatanan sosial politik yang bersumber dan dilakukan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat.
3.      Toleransi
Merupakan sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan pendapat. Toleransi menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang menyenangkan antara berbagai kelompok yang berbeda-beda. Sementara menurut azyumardi Azra, toleransi tersebut yakni kesediaan individu-individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda.
4.      Pluralisme
Pluralisme tidak hanya dipahami sebatas sikap harus mengakui dan menerima kenyataan sosial yang beragam, tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan perbedaan sebagai suatu yang alamiah dan rahmat Tuhan yang bernilai positif bagi kehidupan masyarakat.
5.      Keadilan Sosial
Keadilan sosial adalah adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional atas hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan : ekonomi, politik, pengetahuan, dan kesempatan. Dengan kata lain, keadilan sosial adalah hilangnya monopoli dan pemusatan salah satu aspek kehidupan yang dilakukan oleh kelompok atau golongan tertentu[3]. Secara esensial, masyarakat mempunyai hak yang sama dalam memperoleh kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh penguasa.

D.    Faktor Penghambat Terwujudnya Masyarakat Madani di Indonesia
Ada beberapa faktor atau sebab-sebab yang menghambat terwujudnya masyarakat madani di Indonesia :
1)      Masih kurangnya sikap toleransi di tengah masyarakat.
Contohnya adalah dilarangnya mengumandangkan azan di salah satu daerah di kalimantan.
2)      Masyarakat yang kurang menghargai pluralitas.
Pembantaian umat muslim di Poso merupakan salah bukti masih kurangnya rasa menghargai keberagaman di tengah masyarakat.
3)      Belum terwujudnya keadilan sosial.
Hal yang sering kita lihat dan dengar akhir-akhir ini adalah ada beberapa keputusan pengadilan yang dirasa kurang adil pada kasus-kasus tertentu. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh alm. Zainuddin M.Z. bahwa “di negeri kita ini banyak pengadilan tapi sedikit keadilan”. Contoh lain yaitu belum adanya penanganan hak-hak korban lumpur lapindo di Sidoarjo yang terpenuhi, padahal pemerintah telah berjanji melakukan rehabilitasi, ganti rugi, dan rekonstuksi.
4)      Masih ada pihak-pihak yang tidak bebas dalam meyuarakan pendapatnya. Pada era reformasi ini, kebebasan berpendapat sudah bisa dikatakan jauh lebih baik daripada era orde baru. Namun, baru-baru ini terjadi kasus yang membuat rakyat atau pihak-pihak tertentu tidak bebas dalam mengemukakan aspirasinya yaitu kasus pemboikotan situs-situs Islam yang dianggap radikal, padahal ada diantara situs tersebut yang tidak terbukti demikian.
5)      Kemerosotan moral rakyat Indonesia.
Contohnya yaitu prostitusi di kalangan artis dan kalangan elit, pergaulan bebas remaja, banyaknya remaja putri yang hamil di luar nikah bahkan sampai ada yang jadi korban pembunuhan kekasihnya sendiri, banyaknya bayi-bayi tidak berdosa yang ditelantarkan, kasus perdagangan manusia di Maluku, penemuan ladang ganja dan senjata api di Mandailing, Natal ; kemudian yang terakhir adalah penganiayaan yang dilakukan oleh bupati Biak terhadap seorang wartawan.
6)      Demokrasi kebanyakan hanya wacana tapi kurang dalam prakteknya.
DPR yang lebih mementingkan kenaikan tunjangan daripada memberantas kemiskinan masyarakat. Padahal demokrasi itu merupakan sistem pemerintahan yang dilakukan oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat.

Menurut hemat penulis, solusi dari semua pelanggaran yang dilakukan itu sekaligus salah satu cara yang terpenting dalam mewujudkan masyarakat madani adalah dengan melakukan perbaikan moral warga negara Indonesia. Karena alasan suatu negara atau bangsa dikatakan berperadaban bukan hanya pada teknologinya yang maju tapi yang terpenting adalah rakyat serta pemerintahnya yang bermoral. Yang dibutuhkan di Indonesia bukan saja orang pintar, tetapi yang dibutuhkan adalah orang pintar yang benar.
E.     Perubahan Menuju Masyarakat Madani di Indonesia
Proses perubahan menuju masyarakat madani sangat terkait dengan kehidupan politik bangsa, budaya, pendidikan, berpikir kritis, hukum, keadilan, keterbukaan, pluralisme dan perlindungan terhadap kaum minoritas. Dalam masyarakat madani tercipta keseimbangan antara kebebasan individu dan kestabilan masyarakat. Hadir pula dorongan, upaya dan inisiatif individu dalam bidang pemikiran, seni, ekonomi, teknologi dan pelaksanaan pemerintahan yang mengikuti undang-undang dan hukum yang berlaku dengan baik. Selain itu, tercipta kemandirian individu, keluarga, lembaga-lembaga sosial lainnya seperti media massa, betul-betul dihargai tanpa ada pengaruh langsung dari negara atau pemerintah, dan masyarakat yang dapat mengembangkan sumber dayanya tanpa harus dikontrol oleh negara secara ketat, dan keadilan sosial berjalan sebagaimana mestinya.
Masyarakat Indonesia sedang berada dalam masa transformasi, era reformasi telah lahir dan masyarakat Indonesia ingin mewujudkan perubahan dalam aspek kehidupannya menuju kehidupan masyarakat madani. Seiring dengan itu, munculnya tuntutan untuk mewujudkan pemerintahan bersih, pada satu sisi dan cita-cita mewujudkan masyarakat madani nampaknya tidak boleh ditawar-tawar lagi.  Akan tetapi, proses untuk mewujudkan masyarakat madani tentu tidak mudah, karena diperlukan beberapa persyaratan untuk mengimplementasikan konsep tersebut, tantangan yang dihadapi, serta peluang melakukan perubahan menuju masyarakat madani yang dicita-citakan.
1.      Persyaratan menuju masyarakat madani
a.       Pemahaman yang sama ( one standard )
Pada tingkat awal diperlukan pemahaman bersama dikalangan masyarakat, tentang apa dan bagaimana karakteristik masyarakat madani. Paling tidak secara konsepsional prinsip-prinsip dasar masyarakat madani harus dipahami secara bersama, sehingga relatif semua masyarakat dapat memahami apa yang digariskan dalam prinsip-prinsip dasar masyarakat tersebut. Masyarakat harus memahami lebih dahulu bagaimana mekanisme sistem yang terdapat dalam masyarakat madani itu dalam dinamika kehidupan masyarakat. Dengan pemahaman konsep, relatif akan menjadi lebih mudah bagi masyarakat madani. Karena itu, sosialisasi tentang sistem masyarakat tersebut perlu dilaksanakan dengan memanfaatkan berbagai kesempatan yang ada.
b.      Keyakinan dan saling percaya
  Perlu menumbuhkan dan mengkondisikan keyakinan di kalangan masyarakat bahwa masyarakat madani adalah bentuk masyarakat ideal, masyarakat pilihan yang terbaik dalam mewujudkan suatu sistem sosial yang dicita-citakan. Dengan keyakinan yang tumbuh di kalangan masyarakat, proses menuju masyarakat madani dapat dilakukan. Seiring dengan itu harus perlu ditumbuhkembangkan rasa saling pecaya di kalangan masyarakat. Penanaman rasa saling percaya sangat diperlukan, karena dalam sejarah Orde Baru telah menanamkan rasa curiga dalam kehidupan masyarakat pada awal kekuasaannya. Rasa khawatir akan adanya gangguan stabilitas dan pembangunan nasional, maka pada awal pemerintahan Orde baru semua orang perlu dicurigai. Untuk mewujudkan cita-cita bersama, yaitu membangun masyarakat madani, rasa curiga perlu dihilangkan dan perlu ditumbuhkan rasa saling percaya antara komponen yang terdapat dalam masyarakat dengan baik. Rasa saling percaya dapat ditumbuhkan dengan meningkatkan rasa keadilan dan kejujuran dalam berbagai aspek kehidupan.
c.       Satu hati dan saling tergantung
Apabila telah terbentuk saling percaya di kalangan masyarakat, tahap berikutnya diperlukan juga kondisi kesepakatan, satu hati dan kebersamaan dalam menentukan arah kehidupan yang dicita-citakan. Untuk itu, refleksi dari kondisi tersebut akan tergambar dengan semakin menguatnya rasa saling tergantung antara individu dengan kelompok dalam masyarakat. Dengan keadaan seperti itu, tingkat saling membutuhkan antara berbagai segmen masyarakat akan menjadi bagian terpenting dari moral kehidupan masyarakat dan akan menjamin keseimbangan antara kebebasan dan kestabilan masyarakat.
d.      Kesamaan pandangan tentang tujuan dan misi
Jika kondisi kesepakatan, satu hati, dan kebersamaan sudah tertanam dalam kehidupan masyarakat, maka kesamaan pandangan baik mengenai tujuan dan misi  menjadi lebih mudah untuk dapat diwujudkan, karena semua lapisan masyarakat ingin mewujudkan cita-cita yang sama dalam kehidupan masyarakat. Perbedaan yang ada dalam masyarakat tentu tidak dapat dipungkiri, tetapi perbedaan itu tidak diarahkan menjadi suatu yang bersifat keseragaman  tapi dalam wujud kesatuan. Perbedaan tersebut juga menjadi kekayaan pluralisme dalam kehidupan masyarakat yang dicita-citakan bersama.
Jika keempat persyaratan tersebut dapat dipenuhi, maka relatif akan lebih mudah untuk merumuskan berbagai kebijakan dan strategi untuk mewujudkan masyarakat madani yang dicita-citakan[4].

                                                                                   BAB III
PENUTUP
a.       Kesimpulan
         Masyarakat madani adalah sistem sosial yang berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat. Karakteristik masyarakat madani ada 5 yaitu wilayah atau ruang publik yang bebas, demokrasi, toleransi, pluralisme, keadilan sosial.
Ada beberapa faktor penghambat terwujudnya masyarakat madani di indonesia yaitu masih kurangnya sikap toleransi di tengah masyarakat, masyarakat yang kurang menghargai pluralitas, belum terwujudnya keadilan sosial, masih ada pihak-pihak yang tidak bebas dalam meyuarakan pendapatnya, kemerosotan moral rakyat indonesia, demokrasi kebanyakan hanya wacana tapi kurang dalam prakteknya.


DAFTAR PUSTAKA
Rahardjo,  Dawam. 1999. Masyarakat Madani : Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan Sosial . Jakarta : LP3ES.
Rosyada, Dede dkk. 2003. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta : ICCE UIN.
Sanaky, Hujair. 2003.  Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani Indonesia. Yogyakarta : Safiria Insania Press .



[1] Dede Rosyada (dkk.), Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, (Jakarta : ICCE UIN, 2003), hlm. 176
[2] M. Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani : Agama, Kelas Menengah, dan Perubajahn Sosial (Jakarta : LP3ES, 1999), hlm. 133
[3] Dede Rosyada (dkk.), Demokrasi, Hak Asasi Manusia.., hlm. 185-187
[4] Hujair A.H Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani Indonesia. (Safiria Insania Press : Yogyakarta, 2003)